Antara Dendam dan Penyesalan

Bab 9



Suasana di mobil itu sangat hening, sehingga suara Agatha yang sedang panik menjadi terdengar nyaring. Selena dengan jelas mendengar kata “Harvest”.

Dia masih ingat hari di mana dia mendapatkan laporan tes kehamilan. Dia bergegas berlari ke pelukan Harvey dengan penuh harapan sambil berkata, “Harvey, kamu akan menjadi seorang ayah! Kita akan punya anak! Aku sudah memikirkan nama bayi kita. Jika perempuan, kita beri nama Helena Irwin. Sedangkan jika laki-laki, kita beri nama Harvest Irwin. Itu adalah gabungan dari nama kita berdua, apakah menurutmu bagus?”

Selena sangat berharap dirinya tadi salah dengar. Namun, Harvey tidak menghindari tatapannya dan hanya menjawab, “Namanya Harvest Irwin.”

“Bajingan!” Selena mengangkat tangannya dan menampar Harvey. Kali ini Harley tidak menghindar dan membiarkan Selena menamparnya. “Beraninya kamu memanggil anak yang dia lahirkan dengan nama anak kita!”

Anak itu adalah benteng terakhir Selena. Air matanya sudah seperti pecahan mutiara. Selena menerkamnya seperti orang gila sambil beraung, “Dasar iblis, kenapa Tuhan mengambil nyawa anak kita? Kenapa bukan kamu saja yang mati?”

Selena yang kehilangan akal sehatnya terus memukul-mukul Harvey dengan keras sambil berkata, “Dia tidak pantas diberi nama ini!”

Harvey meraih tangannya sambil memerintahkan Alex, “Kita pergi ke Perumahan Kenali.”

Selena menjadi semakin mengamuk. “Sebentar lagi kita sudah sampai ke Kantor Catatan Sipil. Jika kamu ingin pergi, kamu harus bercerai denganku dulu,” ujarnya.

“Demam anakku tidak kunjung turun, aku harus segera ke sana.”

Selena berkata dengan marah, “Ayahku masih terbaring tak sadarkan di di rumah sakit, bahkan perawat yang menagih biaya rumah sakit membuatku tidak berani masuk ke rumah sakit! Memangnya hanya nyawa anakmu yang penting? Nyawa ayahku tidak penting?”

Saat mendengar Selena menyebut tentang Arya, ekspresi Harvey menjadi dingin. “Memangnya Arya layak dibandingkan dengan Harvest?” ungkap Harvey.

Emosi Selena sudah memuncak, sampai-sampai dia ingin menerkam dan menampar Harvey lebih keras lagi, tetapi tangannya ditahan dengan sangat kuat. Harvey pun dengan berteriak keras, “Apakah kamu belum puas bikin keribuatan?!”

Selena memperhatikan mobil itu berbalik arah. Padahal setelah belokan ini, mereka akan tiba di Kantor Catatan Sipil.

Untuk mencegahnya melawan lagi, Harvey memeluk Selena erat-erat dalam dekapannya. Pelukan yang dahulu menjadi kenyamanan terbesar bagi Selena, sekarang malah menjadi bagaikan penjara yang mengurung dirinya.

Tenaga Harvey begitu kuat, sehingga Selena tak berdaya untuk membebaskan diri. Dia pun hanya bisa meronta sambil berkata, “Apakah kamu begitu mencintai Agatha?”

Harvey sedikit bingung. Saat memeluk Selena, dia menyadari bahwa gadis ini bukan hanya menjadi begitu kurus, jika dibandingkan dengan setahun yang lalu, Selena benar-benar adalah dua orang yang berbeda. Meski tubuhnya dibalut pakaian, tetapi tetap saja tulang-tulangnya terlihat menonjol.

Gadis yang pernah begitu dicintainya seperti bunga yang indah di genggamannya itu, kini menjadi layu dari hari ke hari. Sungguhkah ini yang diinginkan Harvey?

Ketika baru saja timbul keraguan di dalam pikirannya, bayangan mayat perempuan yang menyedihkan itu muncul di benaknya. Tangan yang melingkar di pinggang Selena perlahan-lahan menjadi erat semakin erat.

Ketika kepalanya mendongak, kepedihan di mata Harvey pun menghilang, hanya menyisakan aura dingin yang luar biasa.

“Selena, jika kamu membuat keributan sekali lagi, percaya atau tidak kalau aku akan segera menyuruh seseorang mencabut tabung oksigen Arya?”

Tangan Selena mencengkeram erat pakaian Harvey, air matanya pun membasahi kemeja Harvey.

Harvey jelas-jelas pernah mengatakan bahwa dia tidak akan membiarkan Selena meneteskan air mata lagi, tetapi sekarang dialah penyebab yang membuat Selena menangis.

Suasana di dalam mobil begitu sunyi dan mencekam, sehingga orang-orang merasa seakan sulit bernapas. Sesudah bisa menenangkan diri, Selena pun bergerak menjauhkan tubuhnya dari Harvey, lalu merapikan pakaian dan duduk dengan tegak.All text © NôvelD(r)a'ma.Org.

Selena menghela napas dan berkata, “Kamu ingin pergi menemui putramu, itu adalah hakmu. Tapi jangan sampai masalahmu ini mengganggu rencana awal kita. Kamu tidak perlu khawatir aku akan menganggumu lagi. Jika kamu tidak ingin bercerai, aku tetap ingin bercerai. Aku tidak punya kebiasaan memungut barang bekas.”

Harvey mengerutkan kening ketika mendengar kata “barang bekas”, sementara Selena tetap lanjut berbicara tanpa menghiraukannya, “Aku akui bahwa aku terlalu naif di masa lalu, aku bahkan memiliki harapan yang tidak realistis terhadap dirimu. Sekarang aku sudah paham, lebih baik aku merelakan sampah tak berguna yang tidak bisa kupertahankan ini! Berikan uangnya kepadaku dan selesaikan administrasinya saat kamu punya waktu. Aku jamin akan segera datang kapan saja, aku tidak akan menyesalinya.”

“Bagaimana jika aku tidak mau memberikannya?” tanya Harvey.

Selena menatap mata Harvey yang berwarna hitam pekat. Mata Selena yang baru saja tadi menangis, sekarang sudah menjadi jernih dan cerah. “Kalau begitu, aku akan melompat keluar dari mobil. Tidak ada gunanya lagi aku hidup jika ayahku tidak bisa terselamatkan.”

Harvey mengeluarkan cek dan menulis sebuah nominal, lalu menyerahkannya kepada Selena sambil berkata, “Sepuluh miliar rupiah, sisanya akan kubayarkan setelah kita bercerai.”

Selena tersenyum dingin sambil berkata, “Apa kamu begitu takut jika aku tidak jadi bercerai denganmu? Jangan khawatir, aku bahkan merasa jijik bersama denganmu meskipun hanya sedetik saja. Berhenti!”

Dia mengambil cek itu, lalu dengan keras menutup pintu mobil dan pergi tanpa menoleh ke belakang lagi. “Akhirnya Ayah bisa diselamatkan!” pikir Selena.

Selena segera mencairkan cek tersebut. Hal pertama yang dia lakukan adalah melunasi tagihan medis, hal kedua yang dia lakukan adalah naik taksi menuju ke alamat yang diberikan Chandra.

Tempat itu adalah sebuah pemakaman keluarga yang mewah, di mana orang-orang yang dimakamkan di sana adalah orang kaya dan berpengaruh, termasuk Ella, neneknya Harvey. Selena membeli bunga kamboja favorit Ella.

Beberapa saat kemudian, Selena menemukan sebuah kuburan baru yang dikelilingi oleh pohon plum. Pohon-pohon plum itu sudah berbunga dan akan segera mekar tidak lama lagi.

Batu nisan yang dingin itu terukir dengan nama yang tidak dikenalnya, “Makam Lanny Irwin.”

Dia tahu bahwa Harvey sangat mencintai adik perempuannya. Setelah adiknya itu hilang, Harvey pun menjadikan hal itu sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan. Harvey tidak lagi mengizinkan orang lain untuk menyebut nama adiknya, sehingga Selena pun tidak tahu apa-apa tentang adiknya Harvey itu.

“Lanny Irwin, apakah itu namanya?” pikir Selena yang belum pernah mendengar nama itu.

Dia berjongkok dan melihat foto di batu nisan tersebut. Sepertinya itu adalah foto Lanny ketika berusia lima atau enam tahun sebelum menghilang. Wajahnya masih tampak imut dan tembam. Di antara alisnya, samar-samar bisa terlihat bayangan Harvey.

Selena masih belum mendapatkan petunjuk apa-apa. Dia pun memotret foto tersebut dengan ponselnya untuk dijadikan sebagai satu-satunya petunjuk.

Dia meletakkan bunga kamboja yang awalnya dia beli untuk Ella, lalu berlutut di depan batu nisan Lanny dan berkata, “Lanny, namaku Selena. Jika kamu masih hidup, kamu seharusnya memanggil aku sebagai kakak ipar. Oh tidak, seharusnya mantan kakak ipar. Aku minta maaf karena harus mengenalmu dengan cara seperti ini. Aku yakin aku akan menemukan pelaku sebenarnya yang membunuhmu ... ”

Makam Ella tidak jauh dari sana. Foto Ella terlihat ramah dan penuh kasih sayang, senyumannya tetap sama seperti dulu.

Selena mengambil ubi jalar yang dipanggangnya di pagi hari dari dalam sakunya, lalu meletakkannya di depan batu nisan sambil berkata, “Nenek, aku datang menjenguk Nenek. Sekarang sudah memasuki musim dingin lagi. Sekarang aku tidak bisa berebut ubi jalar lagi dengan Nenek, ubi jalar bahkan tidak ada rasanya lagi bagiku.”

Karena agak lelah setelah berdiri terlalu lama, dia pun duduk di samping batu nisan. Dia memperlakukan Ella seolah-olah masih hidup dan bernostalgia dengannya.

“Nenek, maafkan aku, aku tidak berhasil mempertahankan anak itu. Tapi Harvey yang tidak tahu malu itu telah memberikan keturunan untuk Keluarga Irwin. Nenek tidak perlu mengkhawatirkan masalah penerus lagi.”

“Nenek, dia sudah berubah, dia bukan lagi orang yang kukenal. Dulu dia bilang dia akan melindungiku dari badai dan hujan, tapi sekarang semua badai yang aku hadapi ini adalah badai yang dibawa olehnya. Jika Nenek masih hidup, Nenek pasti tidak akan membiarkan dia memperlakukan aku seperti itu.”

Selena tersenyum terpaksa dan berkata, “Nenek, Harvey dan aku akan segera bercerai. Dulu Nenek pernah bilang, jika dia berani menindasku, Nenek akan merangkak keluar dari peti mati dan meledakkan kepalanya meskipun Nenek sudah meninggal. Umurku tidak panjang lagi, sebentar lagi aku akan menyusul Nenek. Ayo merangkaklah keluar untuk meledakkan kepalanya bersama-sama!”

“Nenek, seperti apa rasanya kematian? Apakah gelap? Aku takut ada serangga kecil yang menggigitku, apa yang harus kulakukan?”

“Nenek, bagaimana kalau aku mendoakan Nenek agar bisa punya banyak uang di alam sana? Lalu Nenek simpan uangnya untukku. Ketika aku menyusul Nenek, belikanlah aku vila besar seluas 800 meter persegi.”

“Nenek, aku merindukan Nenek ... “


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.