Antara Dendam dan Penyesalan

Bab 6



Angin sungai yang dingin bertiup ke arahnya terasa begitu dingin, bagaikan pisau yang menusuk ke sumsum tulang. Selena bangkit berdiri dan lanjut mengejar.

Selena meremehkan kondisi tubuhnya saat ini. Baru berlari beberapa meter, dia sudah terjatuh dengan keras lagi. Pintu mobil terbuka kembali, sepasang sepatu kulit buatan tangan yang mengkilap berhenti di depan Selena.

Pandangan Selena perlahan-lahan menyusuri celana panjang pria yang lurus itu, hingga akhirnya dia menatap mata Harvey yang dingin.

“Har ...” ucap Selena dengan lemah.

Sepasang tangan dengan urat yang terlihat jelas mendarat di tubuh Selena. Dalam seketika, Selena seperti melihat pemuda berpakaian putih yang pernah memukau dirinya di waktu dahulu. Dia pun tanpa sadar mengulurkan tangan kepada pria itu.

Saat tangan mereka saling berpegangan, Harvey dengan kejam melepaskan genggaman tangannya. Dia telah memberi harapan kepada Selena, tetapi dengan kejam menariknya kembali, hingga membuat tubuh Selena yang baru saja bangkit berdiri, kembali jatuh ke tanah dengan keras.

Selena semula tidak terluka. Pada saat terjatuh, telapak tangannya tepat mendarat di pecahan kaca yang ada di atas tanah. Darah yang berwarna merah mencolok itu pun mengalir dari telapak tangannya.

Harvey menyipitkan matanya, tetapi tidak melakukan apa pun.

Selena tiba-tiba melamun. Dia teringat dulu ketika jarinya terluka sedikit saja, dia dibawa ke rumah sakit oleh Harvey saat tengah malam.

Dokter yang bertugas bahkan tertawa dan berkata, “Pak, untung saja Bapak datang lebih awal. Kalau terlambat, pasti lukanya sudah sembuh sendiri.”

Pria yang ada di dalam ingatannya itu terkesan sangat berbeda jauh dengan pria yang ada di depannya saat ini. Alis dan matanya masih sama seperti dulu. Namun, yang berbeda adalah perhatiannya yang telah berubah menjadi sedingin es.

Harvey berkata dengan nada bicara dingin dan tanpa perasaan, “Selena, kalau orang lain tidak paham, itu wajar. Tapi mana mungkin aku tidak memahami dirimu? Dulu kamu masih bisa jungkir balik setelah berlari sejauh 1.500 meter, tetapi sekarang kamu sudah terjatuh hanya setelah berlari beberapa langkah?

Pandangan Harvey pada Selena penuh dengan penghinaan, seakan-akan ada pedang dingin yang menggores-gores tubuh wanita itu.

Selena menggigit bibirnya yang pucat dan menjelaskan, “Bukan. Aku tidak membohongimu. Aku hanya sedang sakit dan merasa

Belum selesai penjelasan itu disampaikan, pria tinggi itu sudah membungkuk, lalu mengangkat dagu Selena. Jari-jari kasarnya membelai bibir Selena yang kering sambil berkata, “Memang seperti buah yang jatuh tak jauh dari pohonnya, kamu sama seperti ayahmu yang sangat munafik. Demi sedikit uang, kamu rela memainkan sandiwara yang begitu buruk.”

Ucapan Harvey lebih menyakitkan daripada tiupan angin yang dingin. Kata-kata itu menikam hati Selena dengan sadis.

Selena dengan kasar menepis tangan Harvey dan berkata, “Ayahku orang jujur dan selalu melakukan hal yang terpuji dalam hidupnya, aku yakin dia tidak akan pernah melakukan hal yang jahat!”

“Hah?!” Harvey hanya bisa tertawa dengan ekspresi kejam, sepertinya dia tidak ingin berdebat dengan Selena tentang hal ini. Dia mengeluarkan selembar cek dari dompetnya, lalu mengisinya dengan sembarang angka dan meletakkannya di depan Selena.NôvelDrama.Org holds text © rights.

“Mau?”

Sepuluh miliar rupiah. Jumlah itu cukup besar, setidaknya bisa membuat Selena tidak perlu mengkhawatirkan biaya pengobatan Arya selama beberapa waktu.

Namun, Harvey jelas-jelas tidak sebaik itu, sehingga Selena pun tidak menerimanya. “Syaratnya?”

Harvey bergumam di samping telinga Selena, “Asalkan kamu mengatakan bahwa Arya lebih hina daripada binatang, uang ini akan menjadi milikmu.”

Setelah mendengar kata-kata ini, ekspresi wajah Selena langsung berubah drastis. Dia mengangkat tangan dan hendak menampar Harvey. Namun, Harvey berhasil menangkap pergelangan tangan Selena. Tangan Selena yang terluka dalam pergulatan itu berhasil menepuk kemeja Harvey hingga meninggalkan bekas tangan yang berlumuran darah.

Harvey mengencangkan cengkeramannya, lalu berkata nada bicaranya yang menjadi lebih keras lagi, “Kenapa? Kamu tidak mau? Kalau begitu, biarkan dia mati di rumah sakit saja. Aku sudah memilihkan tempat pemakamannya.”

“Harvey, mengapa kamu menjadi seperti ini?” tanya Selena dengan berlinang air mata.

Pria yang dulu pernah berjanji akan melindunginya seumur hidup dan tidak akan membiarkannya menangis ini, sepertinya hanya ada di dalam sebuah mimpi. Sekarang air matanya hanya menjadi alat untuk menyenangkan pria ini.

Bahkan meskipun cahaya lampu jalan berwarna kuning yang remang-remang itu menyinari wajah Harvey, tetap tidak tampak sedikit pun kehangatan. Hanya ada ketidaksabaran di wajahnya. “Tidak mau bicara?” tanyanya lagi.

Harvey melepaskan Selena, lalu perlahan-lahan merobek cek itu.

Selena menerjang ke arah Harvey untuk mencegah merobek cek itu, tetapi dia didorong oleh Harvey dengan kasar. Harvey bertindak seperti orang yang paling berkuasa di dunia. Dia menatap Selena dengan sorot mata dingin sambil berkata, “Aku sudah memberimu kesempatan.”

Sobekan-sobekan kertas itu bagaikan harapan Selena yang hancur berkeping-keping, akhirnya berubah menjadi kupu-kupu yang beterbangan di udara dan jatuh di sampingnya.

“Tidak, jangan!” Selena dengan panik mencoba untuk mengumpulkan sobekan-sobekan kertas itu. Air matanya pun berjatuhan di tanah.

Dia terlihat panik seperti anak kecil yang kehilangan segalanya, sungguh tak berdaya dan kebingungan.

Harvey pun berbalik badan dan pergi. Saat akan naik ke mobil, dia mendengar suara benturan keras. Saat dia menoleh, terlihat seseorang pingsan di atas tanah.

Sopirnya, yaitu Alex, tampak cemas. “Pak Harvey, Nyonya sepertinya pingsan, apakah kita harus membawanya ke rumah sakit?” tanya Alex.

Harvey menatap Alex dengan dingin dan berkata, “Kau sangat peduli padanya?”

Alex sudah lama bekerja untuk Harvey. Dia tahu bahwa dulu Harvey sangat mencintai sang nyonya. Namun, sejak dia pergi untuk mengidentifikasi jenazah, dia telah berubah menjadi orang yang sangat berbeda.

Bagaimanapun, ini adalah urusan keluarga mereka, jadi Alex pun tidak berani banyak bertanya. Dia hanya bisa mengemudikan mobil dengan patuh.

Sambil mobil itu berjalan semakin jauh, Harvey memandangi wanita yang tidak mampu bangkit berdiri itu melalui kaca spion. Ekspresi menghina di wajahnya tampak semakin kentara.

“Sudah lama tidak bertemu, Selena malah makin pandai bersandiwara,” pikirnya.

Meskipun Selena dibesarkan dengan segala kemewahan dan kasih sayang, Arya sudah memintanya berlatih berbagai macam olahraga sejak kecil untuk memperkuat tubuhnya. Hal ini dilakukan agar putrinya tidak diganggu oleh orang lain.

Bagaimana mungkin seorang wanita yang memiliki sabuk hitam Taekwondo, mahir dalam kickboxing, dan bertenaga sekuat kerbau itu, bisa pingsan dengan begitu mudah?

Di mata Harvey, ini hanyalah akting yang dilakukan Selena hanya demi uang saja.

Setelah berpikir demikian, Harvey pun mengalihkan pandangannya yang dingin itu, tidak lagi melirik ke arah Selena. Setelah melihat mobil Harvey menghilang dari pandangan, barulah Lewis terburu-buru berjalan ke sisi Selena.

Selena kembali terbangun. Pemandangan yang tampak di hadapannya adalah kamar yang baru saja dia tinggalkan belum lama tadi. Infus terpasang di punggung tangannya, cairan dingin mengalir perlahan melalui pembuluh darahnya yang membiru, dan luka di tangan kirinya sudah dibalut.

Jam dinding berukir kepala rusa di dinding sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Belum sempat dia berbicara, suara Lewis yang lembut sudah terdengar, “Maaf, aku khawatir kamu akan melakukan hal bodoh, jadi aku mengikutimu.

Selena ingin duduk, Lewis pun segera memberinya satu bantal tambahan dan memberinya minum air. Setelah merasa lebih nyaman, Selena berkata, “Apakah Kak Lewis melihatnya?”

“Maaf, aku tidak bermaksud mengintip privasimu.” Wajah Lewis tampak polos bagai kertas kosong. Ekspresinya bisa terlihat dengan jelas, tidak seperti Harvey. “Tidak apa-apa, aku adalah istrinya, itu bukan hubungan yang tidak bisa dilihat orang.”

Melihat ekspresi Lewis yang bingung, Selena pun berkata sambil tersenyum pahit, “Benar juga. Semua orang mengira Agatha adalah calon istrinya. Kalau kamu tidak percaya, aku juga ... ”

Lewis dengan cepat memotong perkataan Selena, “Tidak. Aku percaya. Aku mengenali cincin kawinmu. Itu adalah model edisi terbatas dari SL tiga tahun yang lalu dan hanya ada satu di dunia. Sebuah majalah pernah menulis bahwa itu adalah cincin yang dirancang oleh bos SL untuk istrinya sendiri. Aku tahu bos SL yang sebenarnya adalah Harvey.”

Lewis dulu pernah mencoba mengaitkan hubungan antara Selena dengan Harvey. Namun, setelah mendengar adanya desas- desus antara Harvey dan Agatha, ditambah dengan kenyataan bahwa dia tidak pernah melihat Harvey di rumah sakit selama dua tahun terakhir, dia pun menyangkal pemikiran itu.

Selena tanpa sadar menyentuh jarinya yang dulunya mengenakan cincin kawin itu. Jari itu sekarang kosong. Area pada kulit di jarinya itu tampak lebih pucat daripada di sekitarnya, seolah-olah mengingatkannya pada pernikahannya yang konyol.

“Sudah tidak penting lagi apakah aku masih istrinya atau bukan, besok jam sembilan pagi kami akan bercerai.” “Apakah dia tahu tentang kondisimu?” tanya Lewis.

“Dia tidak berhak tahu.”


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.